Di Ji’ranah hari itu ada kecewa. Ada kebijakan Rasulullah yang tak dipahami.
Ada keputusan yang disalahmengerti. Sangat manusiawi
kelihatannya. Orang-orang Anshar merasa disisihkan selepas perang Hunain
yang menggemparkan.
Mereka telah berjuang total. Mereka berperang di sisi Rasul
dengan penuh kecintaan. Tapi, harta rampasan perang lebih banyak
dibagikan pada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya.
Sementara pada mereka, seakan hanya memperoleh sisa.
Padahal, semua orang tahu, sebagaimana Rasul pun juga
mengetahuinya: merekalah yang berjuang dengan sepenuh iman ketika
orang-orang Quraisy dan kabilah Arab itu lari tunggang langgang pada
serangan pertama pasukan Malik bin Auf An-Nashry.
Maka, hari itu di Ji’ranah, ada yang kasak-kusuk, ada yang
memercikan api, “Demi Allah, Rasulullah saw telah bertemu kaumnya
sendiri!” Kalimat itu jelas sarat kekecewaan.
Hari itu juga utusan Anshar, Sa’d bin Ubadah menemui Sang
Rasul. Hatinya gusar. Ia ingin segera sampaikan apa yang dirasakan
sahabat Anshar pada beliau. Ada yang mengganjal di hati, tapi (mungkin)
mereka anggap tak layak untuk disampaikan. Sa’d bin Ubadahlah yang
memberanikan diri.
_“Ya Rasulullah, dalam diri kaum Anshar ada perasaan
mengganjal terhadap engkau, perkara pembagian harta rampasan perang.
Engkau membagikannya pada kaummu sendiri dan membagikan bagian yang
teramat besar pada kabilah Arab, sementara orang-orang Anshar tidak
mendapat bagian apapun.”_
Kata menangkap protes itu disampaikan dengan lugas tapi
tetap santun. Ada kecewa, tapi iman mereka mencegahnya dari sikap yang
merendahkan. Ada ganjal di hati, tapi bukan amarah tak terkendali.
_“Lalu, kamu sendiri bagaimana Sa’d?”_ tanya Sang Rasul.
“Wahai Rasulullah, aku tidak punya pilihan lain, selain
harus bersama kaumku.” Jawab Sa’d menjelaskan perasaannya. Jujur. Apa
adanya. Ia tidak menutup-nutupi bahwa dirinya juga kecewa. Rasulullah
lalu meminta untuk mengumpulkan semua orang Anshar.
Pada mereka Rasul menenangkan.
Pada mereka Rasul menenangkan.
_“Bukankah dulu aku datang dan kudapati kalian dalam kesesatan, lalu Allah berikan kalian petunjuk?_
_Bukankah dulu saat aku datang kalian saling bertikai, lalu Allah menyatukan hati kalian? Bukankah dulu saat aku datang, kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mengayakan kalian?”_
Orang-orang Anshar itu membenarkan.
Mereka memang sedang dilanda kecewa, tapi lihatlah betapa mereka memilih diam, dan tidak balik menyerang dengan kata-kata dan argumentasi yang dapat diungkapkan.
_Bukankah dulu saat aku datang kalian saling bertikai, lalu Allah menyatukan hati kalian? Bukankah dulu saat aku datang, kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mengayakan kalian?”_
Orang-orang Anshar itu membenarkan.
Mereka memang sedang dilanda kecewa, tapi lihatlah betapa mereka memilih diam, dan tidak balik menyerang dengan kata-kata dan argumentasi yang dapat diungkapkan.
Disebabkan iman sematalah mereka bersikap hormat pada Sang Rasul, meski mereka teramat kecewa.
Saya bayangkan hari itu di Ji’ranah , para sahabat yang mengelilingi Rasulullah.
“Demi Allah, jika kalian mau kalian bisa mengatakan, _‘Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkan._
_Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah, lalu kami menolongmu._
_Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan terusir, lalu kami memberikan tempat._
_Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin, lalu kami yang menampungmu.”_
“Demi Allah, jika kalian mau kalian bisa mengatakan, _‘Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkan._
_Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah, lalu kami menolongmu._
_Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan terusir, lalu kami memberikan tempat._
_Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin, lalu kami yang menampungmu.”_
Saya bayangkan Rasul yang mulia menghela nafas sejenak...
Dapat kita rasakan kata-kata itu menggetarkan dada orang-orang yang diliputi iman itu.
Saya juga membayangkan tempat itu mendadak senyap, kecuali suara Rasulullah yang teduh. dan akhirnya ....
Beberapa sahabat mulai menitikkan airmata.
Dapat kita rasakan kata-kata itu menggetarkan dada orang-orang yang diliputi iman itu.
Saya juga membayangkan tempat itu mendadak senyap, kecuali suara Rasulullah yang teduh. dan akhirnya ....
Beberapa sahabat mulai menitikkan airmata.
_“Apakah ada hasrat di hati kalian pada dunia?”_ tanya Rasulullah tanpa susulan jawab dari para sahabat. Semua terdiam.
Pertanyaan itu mengetuk sisi terdalam dari jiwa para sahabat. Jiwa yang sejak semula disemai iman.
Pertanyaan itu mengetuk sisi terdalam dari jiwa para sahabat. Jiwa yang sejak semula disemai iman.
_“Padahal, dengan dunia itu aku hendak mengambil hati
segolongan orang agar masuk Islam.”_ Rasul mulai menjelaskan alasan
kebijakannya.
Saya bayangkan para sahabat Anshar yang mengangguk paham dalam diam.
_“Sedangkan terkait *keimanan kalian*, aku sudah teramat percaya.”_
Kata-kata itu begitu dalam dan jujur.
_“Sedangkan terkait *keimanan kalian*, aku sudah teramat percaya.”_
Kata-kata itu begitu dalam dan jujur.
Tetes airmata tak kuasa lagi ditahan. Terlebih ketika
Rasulullah melanjutkan, _“Apakah kalian tidak berkenan di hati jika
orang-orang lain pergi membawa onta dan domba, sementara *kalian pulang
bersama Rasul Allah?*”_
Sebuah perbandingan yang kontras.
Kesadaran itu hadir tidak tiba-tiba.
Tangis para sahabat meledak.
Jika bukan karena *iman*, kekuatan apa yang mampu menghadirkan kesadaran setelah kekecewaan? Sungguh, *iman* merekalah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Kesadaran itu hadir tidak tiba-tiba.
Tangis para sahabat meledak.
Jika bukan karena *iman*, kekuatan apa yang mampu menghadirkan kesadaran setelah kekecewaan? Sungguh, *iman* merekalah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Kisah di atas teramat panjang. Dari dalamnya kita belajar
bagaimana dalam komunitas kebaikan sekalipun, kekecewaan itu nyaris tak
dapat dielakkan.
Setiap kita mungkin pernah kecewa.
Sebabnya bisa bermacam-macam.
Tapi sebagiannya karena kita tak persepaham dengan orang lain; apakah kelakuannya, kebijakannya, pernyataannya, perhatiannya, atau apapun. Kita pun bisa kecewa karena merasa tidak mendapat dukungan yang memadai. Kecewa itu bisa muncul dimana-mana, bahkan dalam dakwah sekalipun.
Sebabnya bisa bermacam-macam.
Tapi sebagiannya karena kita tak persepaham dengan orang lain; apakah kelakuannya, kebijakannya, pernyataannya, perhatiannya, atau apapun. Kita pun bisa kecewa karena merasa tidak mendapat dukungan yang memadai. Kecewa itu bisa muncul dimana-mana, bahkan dalam dakwah sekalipun.
Di dalam bilik-bilik rumah bisa lahir kekecewaan. Suami
kecewa pada istri atau sebaliknya, istri kecewa dengan suami. Di
ruang-ruang kerja, kekecewaan dapat juga timbul. Di manapun ketika kita
berinteraksi dengan orang lain, kekecewaan bisa hadir tiba-tiba.
Dalam dakwah, kecewa bisa juga tumbuh bagai ilalang.
Sebabnya bisa bermacam-macam. Gagasan yang ‘dianggap’ tidak
diperhatikan, selera-selera yang tak sama, kebijakan qiyadah yang tak
memenuhi keinginan kita, perilaku dan tindakan ikhwah, dan yang lain.
Hanya kekuatan imanlah yang mampu menjaga kita dari
penyikapan yang salah saat kecewa. Sebagian di antaranya menyikapi
dengan marah, dll.
Namun Sebagian yang lain mampu menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijak.
Namun Sebagian yang lain mampu menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijak.
Jika kecewa datang menggerogoti, periksalah kembali
orientasi kita. Periksa pula niat-niat kita dalam beramal dan
beraktivitas. Inilah saat paling tepat untuk menakar motif dan orientasi
kita.
Semoga pengiring atas rasa kecewa adalah sikap lapang dada,
semangat beramal yang makin menggelora, keikhlasan yang mempesona, dan
penghormatan pada sesama.
Jangan biarkan, kekecewaan ditanggapi dengan aktivitas yang tidak memuliakan kita.
Jangan pula sampai kekecewaan menyeret kita pada devisit iman dan juga devisit emosi.
Jangan pula sampai kekecewaan menyeret kita pada devisit iman dan juga devisit emosi.
Sedari awal, kita memilih jalan dakwah,
bukan karena ingin selalu disenangkan... bukan .. sungguh bukan karena itu
Bukan pula hasrat untuk terus dimenangkan. Kadang tak semua hasrat hati mesti terturuti. Begitulah tabiat perjalanan ini; kesediaan untuk berjalan bersama, mesti diikuti lapang dada atas segala kecewa yang muncul menggoda.
bukan karena ingin selalu disenangkan... bukan .. sungguh bukan karena itu
Bukan pula hasrat untuk terus dimenangkan. Kadang tak semua hasrat hati mesti terturuti. Begitulah tabiat perjalanan ini; kesediaan untuk berjalan bersama, mesti diikuti lapang dada atas segala kecewa yang muncul menggoda.
Kita memilih jalan dakwah semata karena berharap ridha
Allah. Seluruh rasa kecewa itu hanyalah liliput atas kerinduan kita yang
besar atas keridlaan Allah.
Semoga Allah menjaga keistiqamahan kita dan menguatkan keikhlasan kita dalam beramal.
Aamiin Yaa Rabb
Aamiin Yaa Rabb
|Dwi Budiyanto|
#HikmahRamadhan
0 komentar:
Post a Comment