“Sudah sampai ni Yun,” ucap Soni.
“Yuk mari turun Son,” Aajakku
“Sipain alat-alat nya ya, kamera, recorder, bullpen, kertas, dan jangan
lupa juga ID card kamu tu Yun,” ucap Soni lagi.
“iya iya son,” ucapku sembari memasang ID wartawan ku di saku baju
ku.
Kami berdua pun turun dari mobil hitam yang telah penuh debu karna
perjalanan jauh kami. Kami berjalan menuju sebuah wisma. Aku berdiri memandang
sebuah wisma yang kabarnya ada beberapa pengungsi dari Etnik Rohingya.
“Wisma Indah Serasi”, komponen nama yang unik menurut ku.
Nama saya Yuyun Wulandari. Saya bekerja sebagai seorang Reporter
untuk Koran Harian di Kalimantan Tengah. Saya beragama Hindu yang berasal dari
sebuah desa kecil di kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah, desa Basarang
namanya. Orang bilang desa ku merupakan miniature Bali.
Sebagaian besar masyarakat di kampung ku menganut agama Hindu.
Banyak Pura disana. Ayahku asli keturunan Bali, meski sekalipun aku belum
pernah menginjakkan kakiku di Pulau dewata itu. Sedangkan nama Wulandari aku
dapat dari ibuku yang merupakan keturunan Jawa.
***
Suasana tak begitu riuh. Hawa udara pagi begitu semilir. Menerpa
rambutku yang panjang. Kubuka jaket coklatku dan ku tenteng dengan tangan
kiriku. Menyisakan baju kemeja yang bertuliskan nama Perusahaan Koran tempatku
bekerja. Celana panjang jeans ku menutupi bagian kaki dan terlihat ada sedikit
lubang di daerah lutut kakiku, khas anak gaul remaja masa kini.
Di punggung ada sebuah tas ransel hitam besar tempat menyimpan barang-barang
ku. Sebagian besar barang bawaan ku berada di tas ini. Aku baru tiba di
Makassar tadi malam dan pagi ini langsung menuju wisma ini untuk peliputan.
Aku mendapat tugas dari kantor untuk meliput mengenai kondisi
pengungsi rohingya di tempat ini. Dan aku mendapatkan seorang teman, Soni
namanya, seorang wartawan dari surat kabar lokal Makassar. Kebetulan dia juga
akan meliput diwisma ini juga.
Kamera menggantung di leherku. Dan Aku berjalan santai bersama Soni
ke area wisma. Kami disambut dengan hangat oleh penghuni wisma. Beberapa kali
kubidikkan kamera ku. Mencari angle gambar yang sesuai untuk laporan ku
nanti.
“Assalamu ‘alaikum,” sapa seorang penghuni yang tampak hitam dan
kurus badanya.
“Wa ‘alaikumussalam,” jawab ku. Meski aku bukan seorang beragama
Islam, namun aku cukup hafal kalimat ini. Banyak teman-teman ku beragama Islam
dan lingkungan ku di Kalteng mempunyai rasa toleransi antar umat beragama yang tinggi.
“Aku jadi tidak habis pikir, kenapa masih ada kejahatan Genosida
di Myanmar. Pembantaian, pembunuhan dan perilaku keji lainya terhadap umat dan
bangsa Rohingya,” pikirku dalam hati.
Soni mengajakku bertemu dengan Pak rahman. Soni bercerita bahwa pak
rahman merupakan salah satu korban dari kebiadaban terhadap bangsa Rohingya
yang terjadi di Myanmar. Pak rahman sudah 2 tahun tinggal disini. Begitu
penjelasan singkat Soni waktu kami berbincang didalam mobil tadi.
Dan disusul dengan anggukan kepalaku, tanda bahwa aku telah
mengerti.
***
“Tok, tok,tok,” suara pintu di ketuk.
“Assalamu ‘alaikum,” ucap soni.
Masih belum ada jawaban. Kami menunggu beberapa saat.
Kulihat selasar ruangan dengan lantai ubin putih dan bersih ini.
Terdapat banyak pintu dan kamar-kamar.
Tak lama terdengar suara kaki mendekat.
“Assalamu ‘alaikum nak Soni,” ucap seorang lelaki datang dengan
menenteng kantong plastik Hitam ukuran besar.
“Wa ‘alaikum salam,” pak Rahman.
Sontak aku pun tahu kalau itu adalah pak Rahman, orang yang kami
cari untuk jadi Narasumber kami.
“Apa kabar pak Rahman?” ucap soni dengan senyum lebar di bibirnya
sembari menjabat tangan pak Rahman.
“Alhamdulilllah, nak soni sendiri gimana?” timpal pak Rahman.
“Baik Pak,” jawab soni singkat dengan mengelus-elus rambutnya.
“Eh iya ini pak, rekan saya dari Kalimantan Tengah, mau wawancara
dengan Bapak,” jawabnya nyerobot dan langsung memperkenalkan diriku tanpa ku
minta.
“Saya yuyun Pak,” selaku sembari senyum dengan menampakkan gigi
putih ku serta kedua tangan aku katupkan. Aku tak menjabat tangan pak Rahman.
Aku tahu, kami berbeda Gender. Aku tahu hal ini karna sering aku ditolak
bersalaman oleh lelaki Muslim, jawab mereka karna belum muhrim.
“Cantiknya dek yuyun ni, ha ha ha… mari masuk,” jawabnya.
Dari cara berbicara nya, ku duga pak Rahman sudah lancar berbahasa
Indonesia. Sepintas ku perhatikan, Pak rahman ini tidak terlalu gemuk, tinggi,
kekar, berkumis, sedikit jenggot, dan logatnya yang ramah dan funny.
Kami bertiga diajak masuk ke ruangan besar yang penuh dengan
perkakas dapur. Sepintas aku melihat tulisan di pintu, Kitchen.
Dalam hati, kenapa kami malah ke dapur ya. Penuh tanda Tanya.
“Pak ini kenapa malah kedapur?” Tanya Soni protes.
Pak rahman hanya tersenyum. Lalu membuka kantong plastik hitamnya.
Nampaklah beberapa ikan yang tidak kutahu namanya.
“Kita masak Kari Ikan dulu ya, di Myanmar namanya Shaloon, tadi
bapak beli ini di pasar tradisional, gak jauh dari sini,” ungkap Pak rahman
dengan senyum lebar menghiasi.
Tanpa berkata-kata, kami pun ikut bergabung membantu Pak Rahman
memasak Kari. Jujur saja, meski umur ku ini udah ganda 2, tapi aku tidak
terlalu bisa memasak. Semasa Kuliah dulu, aku sering beli sayur matang.
Sesekali memasak, itu pun ramai-ramai dengan teman-teman. Dan aku hanya jadi
juru iris bawang. Ada sedikit menyesal didalam hati kenapa tidak belajar
memasak sedari dulu ya.
“Dasar yuyun,” umpatku dalam hati.
“Yun, itu bumbunya di siapi,” celetuk Soni yang tiba-tiba
membuyarkan lamunan ku.
Aku hanya mengangguk pelan. Dan mengambil setumpuk bumbu yang telah
disiapkan pak Rahman.
Kulihat soni dengan sigapnya mencuci ikan, sedang pak Rahman
mempersiapkan panik yang telah diisi air.
Lewat suasana memasak bersama, keakraban kami langsung terbentuk.
Setelah kurang lebih sejam, Taraaaa….. Shaloon pun siap.
Tanpa babibu pak Rahman menuangkan Kari Ikan kedalam 3 piring.
Dalam hati, sepertinya ini waktuku wawancara sembari makan. Ah tak apalah,
sesuai pepatah. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampui.
“Pak Rahman sudah sering ya bikin Ikan Kari ini,” Tanya ku singkat.
Pak Rahman tidak menjawab, hanya senyum manis di wajah sedang Soni
terlihat melotot matanya seakan member isyarat kepada ku, jangan dulu yun. Kita
lagi akan makan ni.
“Sering dong dek Yun, Ayo silahkan di makan Kari nya, nanti Bapak
cerita panjang….. sehabis makan, biar kuat, isi tenaga dulu ya,” jawabnya nya
dengan disambut gelak tawanya yang khas sembari menyodorkan piring yang telah
berisi kari kepada aku dan Soni.
Aku hanya meringis dan mengangguk. Dan kemudian mengisi nasi ke
piring-piring kami. Semenit kemudian, acara makan bersama dimulai.
(Sengaja penulis tidak mau bercerita rasa Shaloon seperti apa.
Silahkan pembaca bayangkan sendiri dengan imajinasi pembaca…hehehe)
15 menit kemudian, kulihat pak Rahman dan soni sudah selesai.
Sedang aku, masih ada sedikit nasi. Ah biasa cewek, pikirku dalam hati.
Lagipula, ini kan lagi bertamu. Ya, jaga image lah.
Biasanya, kalau di kantin perusahaan kami bekerja, aku nambah satu
piring lagi.
Air putih jadi teman makan shaloon kami.
“Begini dek Yun,” Tiba-tiba Pak Rahman memulai pembicaraan.
“Iya pak Rahman, sebentar saya siapkan buku catatan dulu ya Pak,”
jawabku sembari meminum air putih, dan Glek… air yang berwarna putih itu masuk
kedalam kerongkonganku dan terasa segar.
“Kalau ngomong masalah Kari ini, saya punya cerita,” jawabnya
sembari mengangkat piring kami dan membereskan meja makan.
“Saya dulu Nelayan dek Yun, kerjanya menangkap ikan di laut,” pak
Rahman memulai pembicaraan.
“Lalu tiba suatu hari, Tentara datang membeli Ikan. Mereka itu
sering saja membeli ikan kepada kami. Awal-awalnya membayar, lalu suatu ketika,
mereka ingin mengambil Ikan saya dengan paksa, dan tidak mau membayar,”
“Lalu saya pukul kepala dan wajahnya, ini sebagai bentuk perlawanan
saya, ya wajar lah saya membela hak saya, apa yang saya punya,” tutur pak
Rahman sembari menunjukkan kepalan tanganya.
Aku hanya mengangguk pelan.
“Lalu apa yang bapak yang lakukan selanjutnya?” tanyaku singkat
“Saya kabur keluar desa,” jawabnya singkat.
“hmmm… mohon maaf ni pak, kemana istri dan anak-anak bapak?” Tanya
ku lagi
“Saya sangat menyesal sekali dek Yun, jadi setelah terjadi
pemukulan itu, saya kabur, tetapi sebenarnya tidak jauh dari rumah saya
melihat,…..” jawab Pak rahman dengan
sedikit terisak.
“melihat……” jawabnya melanjutkan….
Soni menepuk punggung pak Rahman…. “Sabar ya pak,” ucap Soni lirih.
“Saya melihat Istri dan Anak saya dibunuh, bahkan setelah itu,
mereka masih sempat memperkosa istri saya,” ucapnya.
“Lalu kemudian mereka membakar rumah saya, padahal mereka tahu ada
jenazah Istri dan anak saya,” dengan Nada suara yang tinggi. Seakan lupa kalau
Ia sedang menangis.
“Sejak saat itulah saya kabur kedesa lain,” jawabnya.
“Hmmmm.. Bagaimana diskriminasi yang bapak dan etnis Rohingya
alami?
“Ya banyak,
misalnya dibebani pajak yang tinggi dalam segala hal. Dikenakan banyak denda.
Dipersulit melakukan perdagangan. Kecuali berniaga dengan militer. Itupun
dijual dengan harga yang jauh di bawah standar atau dipaksa menjual sesuatu
yang tidak ingin kami jual. Ya… supaya kami terus dalam keadaan miskin,”
jawabnya sedih
“Saya pernah baca artikel tentang penghapuskan
identitas Islam dan apa sich pengaruhnya?” tanyaku sembari menunjukkan beberapa
lembar kertas artikel yang ku maksud.
Pak Rahman melihat sejenak kertas tersebut dan
kemudian melanjutkan ceritanya.
“Beragam cara, salah satunya menghancurkan
peninggalan-peninggalan Islam. Mulai dari menghancurkan masjid, madrasah, dan
bangunan-bangunan bersejarah lainnya. Lalu kaum muslimin dilarang sama sekali
untuk membangun suatu bangunan yang berkaitan dengan Islam. Dilarang membangun
masjid, madrasah, kantor-kantor dan perpustakaan, tempat penampungan anak
yatim, dll. Bahkan, sebagian sekolah-sekolah Islam yang tersisa tidak mendapatkan
pengakuan dari pemerintah, dilarang untuk dikembangkan, dan tidak diakui
lulusannya,” jawabnya.
“Sebegitu kejamnya ya pak mereka?” tanyaku
sambil menunjuk lambang Negara Myanmar
“Ya begitulah
dek, Umat Islam diusir dari kampung halaman. Tanah-tanah dan kebun-kebun
pertanian kami dirampas. Kemudian orang-orang Budha itu mulai menguasainya, lalu kemudian membangunnya
dengan harta-harta yang berasal dari kaum muslimin. Mereka membangunnya menjadi
barak militer tanpa kompensasi apapun kepada kami. Kalau kami menolak, maka
kami harus menebusnya dengan nyawa,” jawabnya.
“Soal
kewarganegaraan, bapak bisa cerita sedikit?” Tanya ku
“Masalah yang kami hadapi, etnis Rohingya karena status
kewarganegaraannya. Di Provinsi Rakhine, Kartu putih itu kartu identitas yang dikenakan
bagi orang-orang yang tinggal di Myanmar, namun tidak mendapatkan status resmi
sebagai penduduk. Pemegang kartu putih berarti mereka bukanlah warga negara
Myanmar alias warga negara asing (WNA).
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Umat muslim di Rohingya?”
tanyaku singkat
“Selama ini…. secara turun temurun telah terjadi perseteruan antara
kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha. Kami
tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah dan ditambah dengan agama yang berbeda,”
jawabnya. Raut mukanya memerah pucat. Kini Pak rahman telah berhenti dari
tangisanya.
“Ini tragedi pembantaian, sudah lebih dari 6000 warga kami yang
mayoritas beragama Islam. Selain dibantai kami juga ditolak kehadiran. Yang
Lebih menyedihkan lagi ni dek Yun dan Mas Soni harus tau, presiden melontarkan
pernyataan, mengusir kami sebagai penyelesaian konflik bernuasa etnis dan
agama. Kami dianggap sebagai warga negara illegal dan di luar negara tidak
diterima,” Tuturnya.
“Apa yang bapak Rasakan?” Tanya Soni
“Pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya
menjadi hal yang sudah biasa,” ucapnya dengan sedikit ketir sembari menerawang
kosong.
“Kaum mayoritas dengan leluasa melakukan aksi tidak manusiawinya.
Tak sedikit wanita-wanita berparas cantik, menjadi korban penculikan. Tak hanya
itu banyak anak lelaki yang berusia di atas dua belas tahun, yang dibunuh hanya
karena dirinya beragama islam,” tambahnya lagi
“Pembunuhan dan penganiayaan secara sadis tanpa pandang bulu setiap
hari dilakukan. Baik manula maupun anak kecil menjadi korban tindak kekerasan
umat mayoritas Myanmar,” ungkapnya.
“Bagaimana dengan aktifitas sehari-hari disana?” Tanya soni lebih
dalam lagi.
“Kami tidak mampu beraktifitas sehari-hari dengan aman dan nyaman.
Tidak ada kesempatan bagi kami untuk sekedar makan dan minum karena aktivitas
sekecil apapun yang dilakukan tidak diperbolehkan. Apabila larangan itu
dilanggar, maka nyawa menjadi taruhannya,” jawabnya yang kini Ia menunjukkan
ketegaranya
“Atas dasar itu, militer semakin geram melihat orang-orang muslim
beribadah. Mereka mengunci Masjid-Masjid di perkampungan,” jawabnya.
“Hak-hak yang lain bagaimana Pak?” tanyaku singkat
“Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak pun tak dapat kami
rasakan. Harga beras mahal dan kami di larang menyimpan makanan dan akhirnya
kami kesulitan untuk memenuhi asupan gizi. Kalau ada yang sakit, kami tidak
mampu berbuat banyak selain menolong semampu kami dan pasrah.
“Selain itu Pak,?” Soni menyela
Pak Rahman memandang Soni.
“Hampir setiap malam kami hidup dalam kegelapan karena seringnya
listrik di padamkan oleh pihak pemerintah,” jawabnya singkat.
“Setelah itu Bapak Kabur, maksud saya mencari perlindungan?”
tanyaku
“Saya bersama penduduk desa pergi ke Bangladesh. Setibanya di
pantai-pantai Bangladesh, kami dikumpulkan dan dijaga ketat oleh aparat
bersenjata lengkap. Di bawah todongan senjata, kami dibariskan dan diberi nasi
bungkus serta satu botol air minum,” jawabnya dengan air mata berlinang.
Lagi, soni menenangkan narasumber kami ini.
“Setelah itu, mereka menyuruh kami naik ke sampan-sampan yang jauh
dari layak untuk menyeberangi lautan. Dengan tanpa belas kasihan sedikitpun,
para militer melakukan perintah komandannya untuk memaksa kami untuk masuk ke
sampan itu lalu kembalilah ke laut,” jawabnya.
“Di Bangladesh ditolak di Negara kami diusir, sehingga kami, para
Muslim tak berdaya terkatung-katung di laut tidak tahu harus kemana. Tak peduli
kami ini mau kemana di bawa ombak, yang pasti kami tidak ingin merepotkan Bangladesh,” tambahnya.
“Jadi intinya, Muslim Rohingya itu kebingungan harus kembali ke
mana. Sebab, di Myanmar mereka tidak diterima bahkan disiksa dan di Bangladesh
juga diusir-usir,” jawab ku sok menyimpulkan.
“Lalu bapak singgah kemana saja pak?” Tanya soni lirih
Pak Rahman terdiam sesaat. Menghirup nafas dalam-dalam. Tiba-tiba
pak Rahman dengan senyum lebar berkata, yang bahkan tidak kami duga.
“Wah saya ini petualang mas,” jawabnya
“Saya sudah mengunjungi beberapa Negara mas, malahan di Indonesia
ini sudah beberapa kota saya kunjungi,” jawabnya dengan kembali dengan senyum
dan sedikit gelak tawanya yang menandakan bahwa pak rahman telah kembali kepada
dirinya yang lucu.
“Saya kan dari Rakhine, Myanmar, lalu mengungsi ke Bangladesh,
setelah itu ke India, Thailand, Malasya, dan Terakhir, saya di perjalankan oleh
Allah swt, sampai ke Indonesia,” jawabnya dengan singkat
“Wah sudah
banyak Negara yang bapak kunjungi ya, saya aja belum kemana-kemana pak,”
jawabku singkat. Dan disusul dengan gelak tawa dari Soni dan Pak Rahman.
“Kalau di Indonesia
pak?” sela ku bertanya ke pak Rahman
“Indonesia,,….
Ini Indonesia…., banyak lah, seingat saya Aceh, Sukabumi, Bandar Lampung,
Pekanbaru, Medan, Tanjung Pinang, dan Makassar,” jawabnya.
“Kalau untuk kebutuhan hidup sehari-hari gimana Pak?” tanyaku
dengan rasa penasaran
“Saya bekerja serabutan lah dek Yun, membantu
tetangga sekitar wisma mengerjakan apa saja. Saya bisa perbaiki pintu, lemari,
jadi kuli bangunan, sampai masak,” jawab Pak Rahman.
“Kalau dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
ada bantuan gak pak?” tanyaku
“Alhamdulillah ada dek Yun, Wisma ini saja
disediakan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Bagian
PBB yang mengurusi masalah pengungsi,
dan kami dapat uang bulanan sebesar Rp 1.250.000 per bulan,” jawabnya penuh syukur
terpancar jelas di wajahnya.
“Alhamdulillah,” seru Soni.
“Terus pak, uang itu bapak gunakan untuk apa,
kan bapak juga kerja disini?” tanyaku
“Saya punya satu keinginan, Seandainya bisa,
saya ingin membuka rumah makan,” ungkapnya sambil tertawa.
“Aamiin,” jawab kami berdua
“Eh, Iya pak, bapak itu kan sering
pindah-pindah Negara, emang bapak bisa bahasa apa saja?” tanyaku
“Nasib saya ini yang memaksa saya
berpindah–pindah tempat. Dan saya hampir menguasai semua bahasa lokal daerah
yang pernah saya tempati sebagai pengungsian. Ini ya dek, selain bahasa
Indonesia, saya juga bisa bahasa Bangladesh, India, Thailand, dan Malaysia.
Kalau bahasa Indonesia itu tidak susah, karena hampir sama dengan Malaysia,”
katanya lalu mempraktekkan kebolehan berbahasanya.
Kami semua tenggelam dalam gelak tawa bersama
menyasikan pertunjukkan bahasa Pak Rahman.
Setelah kami rasa cukup. Kami pun pamit. Tak
lupa aku titipkan sejumlah uang yang aku bungkus kedalam sebuah amplop kecil
kepada Pak Rahman.
Pengalamanku luar biasa. Melaksanakan tugas sekaligus
makan bersama dengan salah satu pengungsi dari etnis Rohingya.
Pengalaman
wawancara tadi membuatku tenggelam dalam suasana. Seakan merasakan bahwa aku
juga bagian dari mereka. Ada perasaan haru dan takjub dengan ketegaran mereka
menghadapi penderitaan yang mereka alami.
Andai waktu
dapat berputar, namun waktu terus melaju.
Didalam mobil,
aku dan soni terus berbincang mengenai pengalaman kami masing-masing sewaktu
wawancara dengan Pak Rahman.
The End
By Choirul Fuadi
0 komentar:
Post a Comment