Tuesday, 24 May 2016

Cerpen - Kawasan Hijau

Sejuk udara pagi ini. Kulihat senyum mentari pagi serta hawa sejuk menyapaku. Embun, tanaman hijau, dan orang-orang yang berlari dipagi ini. Kulihat disekelilingku, penuh dengan canda tawa anak-anak. Tanaman tertata rapi. Hijaunya hutan di ujung pandanganku. Angin sepoi-sepoi membelai mesra rambutku. Rumput bergoyang seakan mengajakku bicara. Entah apa yang ingin dia katakan padaku.

Terlihat dari jauh, anak-anak sedang asyik mandi disungai yang jernih airnya. Beberapa orang sibuk dengan pekerjaan mengurus tanaman. Terlihat mereka bekerjasama satu sama lain. Diujung jalan ini tertulis jalan hijau raya, dan juga gapura indah yang membuatku kagum. Gapura yang betuliskan, “Kawasan Hijau”.

Gapura yang sudah diresmikan sejak setahun lalu itu, hingga kini masih kokoh berdiri. Panjang cerita masih tertanam jelas dimemori betapa berat pengorbanan yang harus dilalui untuk mencapai hal itu. Gapura perlambang keberhasilan dan hijaunya kawasan ini.

Jika terkenang akan masa dimana daerah ini kekeringan. Lahan-lahan ini kering. Sungai tidak mengalir sedemikian deras. Bukit belakang desa terlihat gundul. Sering terjadi tanah longsor. Asap membumbung tinggi, hasil dari ulah petani yang membakar lahan.

Hutan di Taman Nasional Tanjung Puting , Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah


**

Kisah ini aku mulai ketika aku baru saja lulus dari sarjana kehutanan di salah satu Universitas termuka di Pulau Jawa. Aku berasal dari daerah kampung kecil di pinggiran kota Malang. Hingga aku selesai kuliah, desaku berubah total. Aku tak mengerti apa yang terjadi.

Randu Agung, dengan deretan pegunungan yang hijau kini berubah kosong tak berpenghuni, pohon-pohon lenyap. berganti kesunyian penuh dengan petak-petak sawah. Desa yang dulunya hijau kini hilang warnanya.

Setelah sebulan aku tinggal didesa, aku mulai mengerti. Mengapa semua ini bisa terjadi. Aku bersama kedua sahabatku, Anci dan Emil bersatu, tekad dan niat untuk merubah semua ini. Mereka adalah teman kuliahku. Meski mereka bukan penduduk asli desa, tapi mereka bertekad untuk membantu.

Kami mulai menelusuri sebab-musabab mengapa semua bisa terjadi. Hari berganti hari, kami mulai menemukan titik temu akar dari semua masalah ini. Semua berasal dari Juragan Totok, seorang juragan kaya raya yang tinggal didesa sebelah.

Kami mulai mencari solusi. Mulai dari menghubungi Pak Lurah, Warga, Pak Camat, bahkan sampai ke Juragan Totok. Tapi semua belum terlihat hasil yang jelas. Yang membuat kami tercengang lagi adalah tanah yang ada hampir semua telah menjadi hak milik juragan totok, meski itu hanya sekedar Surat Keterangan Tanah (SKT).

Bahkan, dengan tanahnya yang sudah sedemikian luas, dia ingin membuka lahan lagi. yakni dipinggir sungai. dia bahkan tidak peduli dengan keadaan sungai itu, airnya keruh dan penuh dengan sampah. tapi keinginannya menjadi tuan tanah sedemikian besar.

**

Kami bertiga tidak tinggal diam. Kami terus berjuang mencari bantuan hingga kekota. Keteman-teman Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Akhirnya kami bertemu dengan anak-anak KOPHI (Koalisi Pemuda Hijau Indonesia). Mereka bersedia membantu dan akan mengirimkan bibit-bibit pohon serta sukarelawan untuk menanam disekitar aliran sungai dan tanah-tanah tandus disekitar bukit.

Akhirnya hari yang ditentukan tiba. Kami bersama-sama anak KOPHI menanam pohon. Jam 7 hingga jam 10 siang. Terik sinar mentari sama sekali tak kami hiraukan. Warga yang kami hubungi untuk membantu cuma menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Tak ada satupun warga yang datang.

Rata-rata warga bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian besar mereka bekerja untuk Juragan Totok. Itulah sebabnya mereka tidak mau ikut membantu.

Hari ini kami telah selesai menanam pohon didaerah aliran sungai. Kemudian hari berikutnya kami mulai menanam di daerah bukit. Meski kami dengan jumlah personel yang seadanya tapi itu tidak menyurutkan semangat juang kami.

Akhirnya, berita penanaman pohon ini sampai juga ditelinga Juragan Totok. Juragan Totok marah bukan main. Bukannya mendukung gerakan penghijauan yang kami lakukan, dia malah mendatangi kami dan mengancam akan mencelakai kami jika terus melakukan reboisasi ini. Dia mengancam malah akan menambah luas sawahnya dengan membuka hutan yang tersisa.

**

Esok paginya, ketika kami akan menyiram pohon yang telah kami tanam, kami tidak menemukan satu pohon pun. Kami mengecek semua pohon telah bersih, dicabut oleh seseorang. Kami mencari kesana kemari, dan kami menemukan tumpukan pohon yang baru kami tanam kemarin di tempat sampah dengan kondisi sudah terbakar, hanya ada beberapa sisa pohon yang masih belum terbakar.Dari sisa yang tidak terbakar, maka kami tanam kembali.

Dua hari kemudian, ketika kamis sedang menyiram pohon, datang segerombolan preman. Mereka semua berbadan besar dan kekar, tiba-tiba datang dan mengancam kami. Kami tidak bisa apa-apa dan  cuma diam saat itu. selain kami hanya bertiga, badan kami juga kecil. Kami kalah jumlah dan postur.

Meski kami sudah mendapat ancaman seperti itu, kami sama sekali tidak takut. Kami terus berjuang menghijaukan tanah ini. Pohon-pohon yang kami tanam terdiam seribu bahasa, bergoyang-goyang tertiup angin seakan ingin mengatakan sesuatu. Entah apa yang ingin mereka katakan, apakah mereka iba dengan kedaan kami.

**

Dua bulan kemudian. Disore hari yang indah, kami mulai menapaki jalanan kecil di kawasan perbukitan. Terlihat pohon-pohon yang kami tanam telah hijau. Mereka seakan tersenyum akan kedatangan kami. Terus bergoyang-goyang diterpa angin sore.

Tiba-tiba segerombolan orang bertopeng menyergap kami. Tangan dan kaki kami diikat. Kami coba berontak tapi tidak bisa. Teriakan minta pertolongan dari kami tidak ada yang mendengar, karna lokasi cukup jauh dari desa. Kami hanya bisa pasrah ketika bertubi-tubi pukulan dari kepalan-kepalan tangan kasar itu melayang dan mendarat ketubuh kami. Sekali-kali mengenai didaerah wajah dan kepala. Darah terasa berhenti. Nafas tersengal-sengal. Badan pegal menahan rasa sakit.

Badan kami dimasukkan didalam karung. Lalu mereka menyeret kami dengan kasarnya. Tidak tahu kemana arahnya. Suasana terasa gelap. Tiba-tiba kami jatuh pingsan.

**

Malam pun datang, orang tua saya merasa kebingungan dirumah karna saya belum juga pulang. Akhirnya dibantu dengan warga mereka mencari saya. Keliling desa, sudut kampung. Dibukit dan ke persawahan.

Dimalam yang indah ini, mereka menemukan kami terikat dan tergeletak tak berdaya di sebuah gubuk kecil ditengah sawah yang letaknya cukup jauh dari desa. Luka lebam disekujur tubuh. Mereka membawa kami ketika kami masih dalam keadaan pingsan.

Pagi harinya kami siuman dan mulai menceritakan apa yang terjadi. Banyak pendapat mengenai hal ini. Tapi kebanyakan pendapat mengarah kepada Juragan Totok yang memang tidak senang dengan adanya kami.

Mereka kemudian beramai-ramai mendatangi rumah Juragan Totok untuk meminta pertangggungjawaban. Tapi Juragan Totok dengan sombongnya mengelak dan menantang warga apabila ada yang berani kepadanya.

Orang suruhan Juragan Totok pun sering berbuat onar dan menindas warga apabila tidak mau menjual tanahnya. Bahkan warga yang membantu kami juga ditindasnya. Mereka menganiaya warga yang tak bersalah.

**

Disuatu malam yang penuh dengan bintang, kami bertiga dan Pak Lurah serta seluruh warga berkumpul dibalai desa untuk membahas masalah ini. Akhirnya mereka sepakat untuk mogok kerja dan akan membantu kami melakukan penanaman pohon. Luka badan yang kami terima ternyata menyadarkan warga.

Hari berikutnya kami bergotong royong melakukan reboisasi. Sebagian warga membuat saluran irigasi. Kebetulan hujan sudah tidak lama turun, akhirnya kami memanfaatkan sumber mata air kecil diatas bukit.

Juragan Totok marah bukan main atas tindakan kami ini. Tapi ketika melihat kami bergotong royong seluruh warga desa, akhirnya dia mengurungkan niatnya. Kami tidak tahu apa yang dia rencanakan.

**

Suatu ketika, Juragan Totok beserta istri pergi kesawah untuk melihat kerja para petani yang menggarap sawahnya. Dengan memakai sepatu boot, topi rimba dan jaket kulitnya. Mereka membawa bekal untuk mereka santap di tengah sawah. Mereka begitu gembira melihat sawah-sawah yang luas dan padi yang mulai menguning.

Ketika mereka sampai digubuk kecil di kaki bukit, tiba-tiba cuaca berubah. Petir menggelegar, angin berhembus keras. Perlahan langit berubah menjadi gelap.Angin rintik membawa air.Mereka kemudian berlari menuju gubuk kecil.

Hujan pun turun dengan derasnya. Angin dingin menembus kulit mereka.Air turun begitu derasnya. Tiba-tiba ada suara aneh dari atas bukit. Ternyata itu adalah tanah longsor. Mereka berlari tunggang langgang. Mereka terjatuh kesawah. Badan mereka kotor terkena lumpur. Untung saja mereka bisa menyelamatkan diri. Tidak ada korban jiwa pada kejadian itu.

**

Kejadian itu membuat juragan totok merenung. Dia sempat mengunci pintu selama bebrapa hari. Akhirnya itu semua membuat menyadarkan Juragan Totok akan pentingnya reboisasi. Dia merasa betapa ngeri longsor tersebut.

Dia kemudian mendatangi pak lurah dan kami bertiga. Akhirnya di sabtu siang itu, seluruh warga dikumpulkan dibalai desa. Juragan Totok lah yang mengumpulkan kami semua. Seluruh warga datang semua. Ternyata tim dari dinas kehutanan dan LSM KOPHI datang juga.

Juragan Totok menyampaikan permemintaan maaf kepada kami semua. Dan dia juga akan membantu sumbangan tenaga dan uang untuk membantu menghijaukan desa. Dinas kehutanan juga sudah membawa bibit pohon akasia.

Atas kesepakatan bersama akhirnya seluruh warga berjanji akan menanam pohon dan bunga dilokasi rumah mereka.Bibit pohon yang ada akhirnnya kami tanam di bukit dan juga dipinggiran sungai.

Gotong royong pagi minggu, kami bertiga bersma seluruh warga, juragan totok dan anak buahnya serta dibantu oleh teman-teman KOPHI. Pekerjaan kami terasa enteng. Kami bertiga bisa tersenyum lega. Setiap pagi menyiram tanaman.

Hari berganti hari, tanaman mulai menhijau. Tanah gundul tanpa pohon mulai kelihatan hijaunya. Angin sejuk sepoi-sepoi membelai lembut tubuh kami.

**

Tahun berganti tahun, hijau desa kami begitu terlihat. bahkan sebagian warga ada yang beralih profesi sebagai penjual tanaman hias. Perekonomian warga pun berangsur membaik.

Saat itu aku diterima menjadi seorang wartawan koran lokal. Aku kemudian menulis artikel tentang desa kami. Dia bahkan mengirim tulisannya ke koran nasional. Bahkan berita ini menjadi berita hangat surat kabar.Berita itu sampai ditangan pejabat-pejabat pemerintah. Bahkan menteri kehutanan juga membaca berita tersebut.

Hingga pada suatu pagi yang cerah, datang rombongan dari dinas dan pejabat setempat. Mereka meninjau langsung. Seharian penuh kami melayani mereka, meski dengan dadakan, tapi sudah cukup membuat mereka puas dan kagum akan keindahan dan hijaunya desa kami.

Seminggu kemudian turun surat keputusan dan desa kami dinyatakan sebagai kawasan hijau. Dan atas bantuan dana dari pemerintah setempat, desa kami membuat gapura nan indah itu dan bertuliskan kawasan hijau.

Hingga kini gapura itu masih berdiri kokoh. Penduduk yang ramah akan alam. Juragan Totok yang sekarang mengembangkan bisnis kayu jati. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai penjual tanaman hias. Sedang aku, masih meniti karierku dibidang jurnalistik. Kedua temanku telah kembali ke kalimantan untuk penghijauan dan menyelamatkan primata disana.

*  The End   *

Arga Mulya, 30 November 2013

Edited in Yogyakarta 30 December 2015

I dedicated this story for Anci and Emil, my friend.

0 komentar:

Post a Comment